Laut Sabang, Catatan-catatan Seorang Urban – Hikayat Para Pewaris

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Iklan

Baiklah jika benar Freeport dibuka kembali demi kesejahteraan masyarakat. Tunggu dulu, benarkah para pewaris tetap menjadi tuan rumah, atau malah punah?

Kalau tak berbekal nomor telepon seluler, mungkin saya gagal menemukannya malam itu di kerumunan. Bahkan setelah berhadap-hadapan, saya masih mengulang menanyakan nama karena takut salah orang, padahal lelaki itu sudah melambai-lambaikan tangannya pada saya, memberi tanda tempatnya berada. Kami janji bertemu untuk ngobrol santai setelah dua bulan sebelumnya saya menghubungi, dan dijanjikannya hari itu karena kesibukan. Saya harus sabar. Akhirnya malam itu, di sebuah pusat kuliner di Sabang, kami berjumpa kali pertama.  

Jeans legging warna gelap, jaket kulit, sepatu boot, dan kacamata hitam tergantung di leher baju membuat Bang Win lebih cepat dikira sebagai personel band rock, menurut saya, tinimbang sebagai nelayan sesuai pengakuannya. Penampilannya mengecoh. Mungkin salah saya juga, dini mengira-ngira bakal bertemu sosok kebapakan dengan celana katun misalnya, tanpa jaket kulit, tanpa sepatu boot, apalagi sunglass.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bang Win adalah nama yang disarankan Pak Ali Rani, Panglima Laot Kota Sabang, jika saya ingin tahu tentang nelayan Lhok Pasiran. Alasan Pak Ali, Bang Win nelayan senior yang aktif di lembaga adat, sering mewakili lembaga untuk urusan dengan pihak luar, dan beberapa kali menjabat pengurus. Setelah tahu seluruh Pasiran akan rata untuk fasilitas pelabuhan dari induk perencanaan atau master plan badan pengembangnya, saya ingin mendengar pendapat nelayan Pasiran sendiri. 

Catatan kecil, Sabang memiliki teluk berkedalaman cukup sebagai tempat sandar kapal-kapal besar sehingga perjalanannya panjang sebagai pelabuhan. 1970 hingga 1985, Sabang pernah ditetapkan menjadi pelabuhan dagang bebas pajak, sebelum Batam dikembangkan. Orang Sabang biasa menyebut pelabuhan bebas di kotanya dengan Free Port.

“Kami tidak pernah diundang bicara,” kata Bang Win, setelah kalimat-kalimat terdahulunya menunjukkan dukungan besar pada program pemerintah membuka kembali Free Port. Sebelumnya, saya berusaha mencari tahu pendapat, persiapan, dan keinginannya jika rencana penggusuran itu sampai masa pelaksanaan, yang selalu dijawabnya, “Itu rumor.” Masyarakat tak banyak mendapat kabar, pun belum sekalipun diundang mendengar penjelasan, nampaknya. “Sabang punya Free Port tidak baru sekarang. Dulu ada juga. Pasiran baik-baik saja (maksudnya tidak mengalami penggusuran),” Bang Win berargumen tempat tinggalnya akan aman.  

Kesimpulan saya malam itu sama dengan hasil ngobrol bersama nelayan-nelayan lain. Bang Win, sama dengan banyak nelayan Pasiran, tak keberatan laut mereka dikembangkan menjadi Free Port, meskipun akses mereka ke laut akan terganggu bahkan tertutup total. Alasannya yang membuat saya miris, karena ternyata nelayan Pasiran telah lama tidak bergantung pada laut. Kalaupun masih ada, hanya beberapa orang, dan itupun harus menempuh jauh karena laut-laut yang dekat tak lagi banyak menghasilkan. Bang Win, yang saya kira masih aktif menjadi nelayan, bahkan baru beberapa bulan dari waktu kami bicara, tidak lagi sebagai pengurus lembaga adat, ternyata telah bertahun-tahun meninggalkan laut. Sesekali mancing, ada juga, tapi “Sekedar obat kangen,” akunya.

Nelayan profesi nyata-tidak nyata di Pasiran kesimpulan saya akhirnya. Biarpun banyak bapak di Pasiran mengaku nelayan, nyatanya mereka tidak bisa lagi mengandalkan profesi itu, sehingga mau tidak mau mencari cadangan penghasilan. Beberapa bahkan telah sama sekali meninggalkannya, Bang Win misal.

Bang Win lebih banyak ‘ikut’ proyek. Terakhir yang dikerjakannya, menjadi mandor pembangunan jalan dan waduk di Sabang. Waktu saya menghubungi Bang Win, beberapa ruas jalan memang sedang dikebut pengerjaannya oleh pemerintah kota. Itu juga yang membuat saya harus sabar dua bulan. Upah bekerja di proyek lebih lumayan karena, “Bisa buat beli ini,” kata Bang Win setengah bercanda, menunjuk jaket yang sudah terlipat di pangkuan.

Waktu saya bertanya apa ada bedanya bagi seorang Bang Win, Free Port kembali dibuka atau tetap tutup, Bang Win menjawab, “Kalau dibuka (Free Port), jelaslah kita jadi lebih sejahtera.” Lalu saya bertanya apa ukuran sejahtera menurutnya, dijawab, “Mudah kita cari makan.” Saya bertanya lagi akan bekerja apa kalau memang Free Port kembali dibuka, Bang Win menjawab tegas, “Apa saja.”

Bang Win, yang asli Pasiran, masih mengingat bagaimana dulu lingkungan rumahnya ramai saat Sabang mempunyai Free Port, yang memang sepanjang sejarah pelabuhan bebas Sabang, bertempat di Pasiran. Masa itu, sebenarnya, Bang Win tergolong belia. Tapi Bang Win muda pasti mengamati, mungkin mengalami, imbasnya dari orang-orang sekitar yang kala itu menjadi pelaku-pelaku langsung dalam Free Port.

“Tidak kuatir bersaing dengan pekerja dari luar Sabang, Bang? Kan, denger denger bakal dibangun besar nyaingin Singapura tuh. Pasti ada standar pekerja yang diterapkan kan.”

Ndak, orang itu (pemerintah maksudnya) pasti dulukan kitalah,” jawab Bang Win, terdengar yakin. “Kerja, kalau Free Port dibuka kan ndak cuma di dalam pelabuhan. Kita bisa dagang, barang banyak masuk, bisa buka kede (maksudnya kedai), angkut barang, apa sajalah. Tapi kerja gampang (maksudnya mudah mencari pekerjaan).”

“Kalau orang dari luar juga buka kede, Bang? Terus kede mereka lebih besar karena banyak uang, bagaimana?” “Kalau Abang dagang, siapa yang mau beli? Orang Sabang segini-segini aja jumlahnya, barang gak boleh keluar Sabang, bagaimana?” Semua pertanyaan saya itu dijawab Bang Win, “Ndak.” Dari jawaban-jawabannya, Bang Win nampak begitu yakin ‘kesejahteraan’ itu seiring pembukaan kembali pelabuhan, karena harapannya terbuka lapangan kerja ‘apa saja’ seperti diungkapkannya, termasuk pekerjaan-pekerjaan kasar, bagi saya, seperti menjadi tenaga pengangkut barang.  

Lain Bang Win, lain Bang Har, sebut saja begitu, yang berharap segera dibuka Free Port agar warung kopi miliknya banjir pengunjung, padahal tanah Bang Har termasuk yang dicaplok pembangunan Free Port, jika acuannya masterplan. Lelaki ini sempat menceritakan kenangannya, “Iya kalau dulu cari lobster gampang. Saya sering dulu cari lobster. Sekarang ini payah (maksudnya mencari lobster sudah sangat sulit di perairan Sabang). Mau ikut boat, ndak kuat saya, karena jauh-jauh. Ya, begini enak, buka kede kopi.”

Masih ada, Kakek Idris, yang usianya 70 tahunan taksiran saya dari cerita-ceritanya, mengingat beliau sendiri gagal pasti tahun lahirnya. Kek Idris tidak tinggal di Pasiran sekarang, tapi jaman 1970 sampai 1985, ketika Free Port beroperasi, dulu, ia salah satu yang merasakan ‘keberkahan’ itu. “Banyak kali (sekali), barang bagus-bagus. Jual ke Banda (Banda Aceh, maksudnya) laku. Banyak untung kita.” Era itu, barang-barang impor yang masuk ke Sabang lumayan beragam seperti, “Ada piring, gelas, nampan-nampan, alat-alat dapur elektronik, macamlah,” urai Kakek Idris. Tapi itu dilakukannya, bahkan, dengan berlayar malam karena barang-barang itu illegal keluar Sabang. Toh, pengalaman itu tidak merubah harapan Kek Idris pada ‘keberkahan’ yang bakal kembali datang dirasakan anak cucunya seiring rencana kembali dibukanya Free Port. “Baguslah kalau orang Sabang gampang cari uang.”

Selain Bang Win, Bang Har, dan Kakek Idris, banyak nelayan lain, baik asli Pasiran atau bukan, nampak memberi dukungan pembangunan Free Port karena menurut mereka mencari uang akan menjadi lebih mudah. Bekerja apa saja asal gampang dapat uang rupanya menjadi ukuran kesejahteraan kebanyakan nelayan.

Saya awam, tanpa penelitian memadahi, tapi jika boleh berpendapat, jelas jauh memang membandingkan penghasilan menjadi nelayan dari laut yang makin tidak menghasilkan dengan pekerjaan-pekerjaan di sekitar pelabuhan yang cenderung cepat mendatangkan uang, seperti menjadi kuli angkut atau menyelundupkan barang. Tekanan bagi nelayan masih ditambah banjir hasil laut dari luar Sabang yang mulai berdatangan sekarang. Meski jelas tidak sesegar hasil Laut Sabang alias bertambah pengawet, kebanyakan rumah tangga tidak jauh mempersoalkan muasal barang apalagi kandungan. Lebih utama bagi mereka harga murah dan ketersediaan barang di pasar yang selalu ada.

Ini sebuah pengkondisian, dari pemahaman saya. Bukankah susahnya memperoleh hasil laut di Teluk Sabang atau Lhok Pasiran, sedikit banyak dampak pembangunan dermaga? Bukankah susahnya menjadi nelayan akibat kebijakan-kebijakan? Nelayan seperti tidak punya pilihan selain mengiyakan dan merestui pembukaan kembali Free Port akhirnya, yang terlihat lebih menjanjikan penghasilan mudah dan besar. Padahal jika tujuan utamanya demi kesejahteraan warga Sabang, bukankah bisa diwujudkan dengan membentengi kelestarian Laut Sabang menjaga hasilnya tetap melimpah, agar warga Sabang yang trahnya nelayan tetap mudah memperoleh kehidupan?

Baiklah jika benar Free Port dibuka kembali demi sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat Sabang. Tapi tunggu dulu, Bapak-bapak. Ketika Free Port dibuka sesuai rencana, menjadi dermaga besar masa depan, di antara semangat pasar bebas yang kadung dianut dunia, termasuk terpaksa dianut negara kita, di antara banjir tenaga kerja dari luar Indonesia yang legal maupun illegal, di antara banjir modal besar yang bukan milik asli warga Sabang, di antara lahan-lahan yang bukan lagi milik warga Sabang, di antara raksasa-raksasa swasta yang harus kita izinkan ikut tinggal di Sabang konsekuensi label bebas, di tengah laut yang sibuk dengan kapal-kapal besar, di tengah laut yang makin turun kualitasnya karena tidak mungkin menolak buangan limbah, dimana Bapak-Bapak nelayan Sabang berada? Pewaris-pewaris tetap jadi tuan rumah atau tergusur dan terusir?

Bagikan Artikel Ini
img-content
Wulung Dian Pertiwi

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Andai Saya Jurnalis, Kemarin

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
img-content

Tentang Kebenaran (Bagian 2 The Help)

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler